Kepalaku pusing. Segerombolan burung gereja sedang latihan choir gagal di atas kepala ini, rasanya. Ughh! Hsssssstt…*menahan rasa sakit*. Samar-samar kelopak mata terbuka, mencoba mengenali sebentuk benda bulat, seperti bola. Merah jambu…bukan…perlahan-lahan warnanya semakin terang…
Lalu gerombolan burung gereja berangsur-angsur bubar. Tinggal seekor saja yang masih keukeuh mengitari kepalaku sambil terus ber-ciap ciap. Ciap-an nya sungguh cempreng dan sumbang. Makin pening kepala ini dibuatnya. Ciap-an nya seperti se ulas sembilu bamboo yang menoreh kasar tempurung kepala ku. Bunyinya mengkerit seperti bangku kayu yang di seret kasar bocah sekolah dasar. Sungguh menyiksa. Hhsssssttt!!! *makin dalam menahan rasa sakit*
Mata kusipitkan sedikit, susah payah berupaya mengenali sosok benda bulat yang menarik perhatian di ujung sana. Makin lama makin jelas warna nya, merah. Dan merah saja. Tapi sekarang makin jelas. Merah marun. Terlihat menarik. Tampaknya lezat. Aku berselera!.
Memandanginya saja bikin aku tiba-tiba merasa haus tak terkira. Kerongkongan ini terasa begitu kering. Yang kulihat sekarang adalah sebuah oase di padang gurun sahara yang kering kejam.
Warna merah itu ranum. Bentuknya hampir bulat, semok, bikin ngiler. Si merah ranum itu melambai-lambaikan ke ranumannya pada ku. Ia berbisik lirih menggoda. Suara ranumnya memanggil-manggil untuk merengkuhnya.
Tenggorokanku kesat. Godaan ranumnya memperparah. Sekarang rasanya seperti baru saja terlempar dari neraka paling jahanam. Kering, kesat, lecet dan mulai berdarah kerongkongan ini rasanya…
Kebrutalan tsunami dahaga yang luar biasa ini mengalihkan peningku. Ciap-an cempreng satu-satunya burung gereja di atas kepala ini sudah tak terdengar lagi. Burung gereja itu pasti gengsi bernyanyi di atas tubuh yang sedang menyongsong mati.
Sekarang cuma tinggal aku sendiri. Berharap sampai di oase sejuk berwarna merah marun yang molek seksi…..-di depanku. Sebelum kerongkongan kering ini tak dapat merasakan apa-apa lagi. Cuma sepi…dan…sepi…
No comments:
Post a Comment