Pada masanya itu mengaji di mesjid punya adab tertentu yang harus di taati. Biar mengajinya afdol. Dapet pahala. Kata pak ustdaz.
Belum kenal lah orang daerah waktu itu sama yang namanya Kaftan. Syahrani juga belum ada, yah.. Alhamdulillahhh…(ngemeng ala syahrani).
Mungkin pada saat itu buat daerah tempat gue tinggal dan belajar mengaji itu, Kaftan, terlalu bernuansa arab, .
Selama yang bisa diingat, walau di sumatera itu penduduknya terkenal islami tapi jarang di temuin atribut2 Islam yang ke arab2an. Kayak jenggot(kecuali pada datuk-datuk dan (maaf ya) kambing…), jilbab, gamish, apalagi cadar. Beberapa gimmick yang arab-ish memang bisa ditemuin dalam jumlah yang terbatas seperti korma (palingan ada pas musim balik haji), celak (eyeliner hitam ala perempuan2 arab memang sudah hip dari dulu), inai (ini sebutan buat pacar, kutek halal yang biasa jadi oleh-oleh haji selain aer zamzam, dan celak arab).
Selain itu semua identitas keislaman yang keliatan hanya hal-hal yang mendukung aktifitas yang wajib, seperti kerudung selempang; seperti yang dipake ibu Fatmawati saat proklamasi kemerdekaan, mukena, sajadah, quran, dan hiasan dinding kain besar bergambar ka’bah
Yang biasa disebut busana muslim waktu itu cuma baju kurung. Baju ‘atasan’ longgar lengan panjang dan rok panjang lurus buat ‘bawahan’nya. Dua piece ini dalam satu motif yang sama. Atas dan bawah. Baju khas daerah melayu, ini sebenarnya. Negara tetangga, Malaysia malah menjadikannya sebagai busana nasional.
Aku ingat punya tiga pasang baju kurung buat mengaji, bermotif bunga dan daun kecil-kecil. Punyaku selalu dalam color range warna-warna calm, sedangkan adikku dalam warna-warna terang. Kalo baju kurung ku biru, adikku merah. Kalo aku coklat muda, adikku oranye. Selalu begitu pembagiannya. Entah disengaja atau enggak oleh ibu.
Wednesday, August 24, 2011
Tuesday, August 23, 2011
ngaji
Begini ya, sebagai anak yang lahir dari orang tua yang berasal dari sumatera, sumatera bagian barat, pendidikan agama adalah prioritas utama dalam membesarkan anak-anaknya. Selain ngasi nafkah lahir; seperti makan, minum, uang jajan, baju lebaran pas lebaran tiba, seragam baru pas tahun ajaran baru mulai, di tambah hadiah tamasya keluar kota kalo nilai raport kami bagus. Jadi pandai mengaji wajib hukumnya.
Mengajinya pun haruslah di mesjid. Entah disengaja atau enggak, Tuhan menempatkan mesjid itu persis sebelahan ama rumah! Bener-bener sebelahan. persis. Cuman di pisahin ama gang senggol ukuran dua orang dewasa jalan rangkulan doang, semeteran kurang lah.
Mengajilah kami kakak beradik di mesjid, di sebelah rumah, Senin sampai Sabtu, jam 7 pagi teng tak boleh telat! Dengan keterpaksaan tingkat tinggi untuk bangun pagi setiap hari itu bikin ngaji jadi kegiatan yang gak asik buat anak seusia kami. Mengaji itu susah, jadi makin susah lagi karena diharuskan bangun pagi tiap hari.
Mana ada anak kelas dua sekolah dasar, normal, yang bisa melek sukarela pagi-pagi buta buat belajar mengaji.
Perjalanan dari tempat tidur menuju kamar mandi adalah perjalanan penjang yang melelahkan. Ditempuh dalam tempo yang slow motion dan transit di beberapa titik sofa, meja makan, lemari, wastafel, centong, asbak…*harapannya siy bisa transit dimana aja…* diiringi backsound nyokap-nyap-nyap di setiap titik, (tentunya) kayak yang menyadarkan buat pindah ke titik perhentian selanjutnya, sampai masuk kamar mandi dan… merenung manis diatas closet!
Lupa kapan tepatnya rutinitas kemalasan-mengaji-pagi itu hilang. mungkin sejak tiba-tiba noticed ada perpindahan sofa menjau dari rute kamar – kamar mandi pp. meja makan yang mendadak tanpa kursi. Centong menghilang. Dan asbak yang selalu penuh terisi abu…
Mengajinya pun haruslah di mesjid. Entah disengaja atau enggak, Tuhan menempatkan mesjid itu persis sebelahan ama rumah! Bener-bener sebelahan. persis. Cuman di pisahin ama gang senggol ukuran dua orang dewasa jalan rangkulan doang, semeteran kurang lah.
Mengajilah kami kakak beradik di mesjid, di sebelah rumah, Senin sampai Sabtu, jam 7 pagi teng tak boleh telat! Dengan keterpaksaan tingkat tinggi untuk bangun pagi setiap hari itu bikin ngaji jadi kegiatan yang gak asik buat anak seusia kami. Mengaji itu susah, jadi makin susah lagi karena diharuskan bangun pagi tiap hari.
Mana ada anak kelas dua sekolah dasar, normal, yang bisa melek sukarela pagi-pagi buta buat belajar mengaji.
Perjalanan dari tempat tidur menuju kamar mandi adalah perjalanan penjang yang melelahkan. Ditempuh dalam tempo yang slow motion dan transit di beberapa titik sofa, meja makan, lemari, wastafel, centong, asbak…*harapannya siy bisa transit dimana aja…* diiringi backsound nyokap-nyap-nyap di setiap titik, (tentunya) kayak yang menyadarkan buat pindah ke titik perhentian selanjutnya, sampai masuk kamar mandi dan… merenung manis diatas closet!
Lupa kapan tepatnya rutinitas kemalasan-mengaji-pagi itu hilang. mungkin sejak tiba-tiba noticed ada perpindahan sofa menjau dari rute kamar – kamar mandi pp. meja makan yang mendadak tanpa kursi. Centong menghilang. Dan asbak yang selalu penuh terisi abu…
Subscribe to:
Posts (Atom)