Tuesday, September 21, 2010

bait terakhir di pojok lemari

gak ada yang pernah minta mati dengan cara ini.

sendirian terbaring kaku di lantai pualam biru, owh harusnya tubuhku sudah membiru sekarang. dua hari sudah.

gak ada yang perlu datang mencari.

semua koloni sibuk sendiri sendiri, ahh harusnya gak kuikuti serakahku sendiri. adakalanya bersama berbagi membuat hidup jadi lebih berarti.

gak ada semprotan yang harus dihindari.

gak ada selinap di balik roti tawar pagi.

gak ada kehangatan tumpukan pakaian kotor di pojok kamar.

gak ada aku.

bagiku, gak ada kamu, manusia malas yang telantarkan jasadku di pojok lemari.

Saturday, September 11, 2010

mushroom brownie

Kepalaku pusing. Segerombolan burung gereja sedang latihan choir gagal di atas kepala ini, rasanya. Ughh! Hsssssstt…*menahan rasa sakit*. Samar-samar kelopak mata terbuka, mencoba mengenali sebentuk benda bulat, seperti bola. Merah jambu…bukan…perlahan-lahan warnanya semakin terang…

Lalu gerombolan burung gereja berangsur-angsur bubar. Tinggal seekor saja yang masih keukeuh mengitari kepalaku sambil terus ber-ciap ciap. Ciap-an nya sungguh cempreng dan sumbang. Makin pening kepala ini dibuatnya. Ciap-an nya seperti se ulas sembilu bamboo yang menoreh kasar tempurung kepala ku. Bunyinya mengkerit seperti bangku kayu yang di seret kasar  bocah sekolah dasar. Sungguh menyiksa. Hhsssssttt!!! *makin dalam menahan rasa sakit*

Mata kusipitkan sedikit, susah payah berupaya mengenali sosok benda bulat yang menarik perhatian di ujung sana. Makin lama makin jelas warna nya, merah.  Dan merah saja.  Tapi sekarang makin jelas. Merah marun. Terlihat menarik. Tampaknya lezat. Aku berselera!.

Memandanginya saja bikin aku tiba-tiba merasa haus tak terkira. Kerongkongan ini terasa begitu kering.  Yang kulihat sekarang adalah sebuah oase di padang gurun sahara yang kering kejam.

Warna merah itu ranum. Bentuknya hampir bulat, semok, bikin ngiler. Si merah ranum itu melambai-lambaikan ke ranumannya pada ku. Ia berbisik lirih menggoda. Suara ranumnya memanggil-manggil untuk merengkuhnya.

Tenggorokanku kesat. Godaan ranumnya memperparah.  Sekarang rasanya seperti baru saja terlempar dari neraka paling jahanam. Kering, kesat, lecet dan mulai berdarah kerongkongan ini rasanya…

Kebrutalan tsunami dahaga yang luar biasa ini mengalihkan peningku. Ciap-an cempreng satu-satunya burung gereja di atas kepala ini sudah tak terdengar lagi. Burung gereja itu pasti gengsi bernyanyi di atas tubuh yang sedang menyongsong mati.

Sekarang cuma tinggal aku sendiri. Berharap sampai di oase sejuk berwarna merah marun yang molek seksi…..-di depanku. Sebelum kerongkongan kering ini tak dapat merasakan apa-apa lagi. Cuma sepi…dan…sepi…

Friday, September 10, 2010

matahari layla

Waks! Kesiangan lagi dia  hari ini! Layla menyalakan tv dan bergegas ke kamar mandi.  Biar bisa denger berita sambil sikat gigi. Aku bisa curi-curi pandang sedikit dari celah jendela besar kamarnya.

Tak lama kulihat layla keluar rumah. Siap  beraksi  dan berkreasi. Langkahnya tampak ringan hari ini.  Seringan lambaian boyfriend-shirt nya yang sedikit longgar diatas levi’s biru tua yang membungkus sepasang kaki panjangnya.  Nice…

Sebelum tangannya membuka gerendel pintu pagar dia menengadah ke arahku. Tersenyum. “Hai, selamat pagi! Aku kesiangan lagi hari ini” begitu arti senyumnya(menurutku…) “Well, semoga semua berjalan seringan langkahmu hari ini layla. Aku iringi dari jauh sampai kumandang bedug magrib nanti”-balasku dalam hati.

Kulihat senyumnya masi mengembang ketika seorang pengendara motor menghalangi langkahnya ketika menyeberangi jalan. Sepasang mata gahar mencuat dari balik helm setengah-muka. Layla santai. Di lanjutkan langkahnya sampai ke seberang jalan, ringan.

Berlari-lari kecil ia menapaki tangga persegi. Sesekali dilambaikan tangannya kepada petugas sekuriti yang sedang bertugas di sekitar lobby. “selamat pagi..’ sapanya.

Dari balik kaca gedung bertingkat tinggi ini aku masi bisa mengikuti langkah kaki layla. Dia terlihat sibuk hari ini.  Sebentar duduk, lalu berdiri, dan pergi. Sebentar kemudian ia kembali dengan setumpuk map setinggi pipi. Sesekali kulihat ia melirik jam tangannya. “sebentar lagi”, begitu mungkin lirihnya.   Sementara itu posisiku mulai terus bergulir , menepi… 

Aku makin condong menjauhi kaca  gedung tinggi ini. Langkah-langkah layla makin samar terlihat dari sini. Masih sempat ku intip, layla tak sesibuk tadi. Ia duduk menghadap kaca besar gedung tinggi ini. Tempat aku mengawasinya dari tadi. Di hadapannya kulihat secangkir teh yang uapnya tampak seperti menari-nari mengiringi ku pergi.

“selamat berbuka layla, tak sabar untuk bertemu lagi, esok pagi"