Wednesday, August 24, 2011

baju kurung

Pada masanya itu mengaji di mesjid punya adab tertentu yang harus di taati. Biar mengajinya afdol. Dapet pahala. Kata pak ustdaz.
Belum kenal lah orang daerah waktu itu sama yang namanya Kaftan. Syahrani juga belum ada, yah.. Alhamdulillahhh…(ngemeng ala syahrani).
Mungkin pada saat itu buat daerah tempat gue tinggal dan belajar mengaji itu, Kaftan, terlalu bernuansa arab, .
Selama yang bisa diingat, walau di sumatera itu penduduknya terkenal islami tapi jarang di temuin atribut2 Islam yang ke arab2an. Kayak jenggot(kecuali pada datuk-datuk dan (maaf ya) kambing…), jilbab, gamish, apalagi cadar. Beberapa gimmick yang arab-ish memang bisa ditemuin dalam jumlah yang terbatas seperti korma (palingan ada pas musim balik haji), celak (eyeliner hitam ala perempuan2 arab memang sudah hip dari dulu), inai (ini sebutan buat pacar, kutek halal yang biasa jadi oleh-oleh haji selain aer zamzam, dan celak arab).
Selain itu semua identitas keislaman yang keliatan hanya hal-hal yang mendukung aktifitas yang wajib, seperti kerudung selempang; seperti yang dipake ibu Fatmawati saat proklamasi kemerdekaan, mukena, sajadah, quran, dan hiasan dinding kain besar bergambar ka’bah
Yang biasa disebut busana muslim waktu itu cuma baju kurung. Baju ‘atasan’ longgar lengan panjang dan rok panjang lurus buat ‘bawahan’nya. Dua piece ini dalam satu motif yang sama. Atas dan bawah. Baju khas daerah melayu, ini sebenarnya. Negara tetangga, Malaysia malah menjadikannya sebagai busana nasional.
Aku ingat punya tiga pasang baju kurung buat mengaji, bermotif bunga dan daun kecil-kecil. Punyaku selalu dalam color range warna-warna calm, sedangkan adikku dalam warna-warna terang. Kalo baju kurung ku biru, adikku merah. Kalo aku coklat muda, adikku oranye. Selalu begitu pembagiannya. Entah disengaja atau enggak oleh ibu.

1 comment:

  1. pake baju kurung, kenangan dulu, hihihi..
    berkesan deh, kalo sekarang sih pakenya baju Gamis Baru, modelnya sipsip

    ReplyDelete